Get Gifs at CodemySpace.com

Kamis, 21 Februari 2013

Nabi Muhammad SAW sebagai Diplomat Ulung



Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Alloh pilihan, dikenal juga dalam sejarah atas kepemimpinan dan peran diplomatiknya atas komunitas Islam saat itu. Ia membangun komunikasi dengan para pemimpin suku maupun pemimpin negara lain dengan mengirim utusan yang membawa surat darinya, atau bahkan mengunjunginya (kunjungann ke Ta’if). Korespondensi melalui surat antara lain dilakukannya dengan Heraclius (Kaisar Romawi ), Raja Negus (penguasa Ethiopia) dan Khusrau (penguasa Persia).
Saat hijrah ke Madinah, ia mengubah situasi politik dan sosial yang selama puluhan tahun dipenuhi oleh persaingan antar suku yang didominasi suku Aus dan Khazraj. Salah satu cara yang ia gunakan untuk mencapai kondisi ini adalah penandatangan perjanjian kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisikan peraturan-peraturan mengenai kehidupan sosial antar semua elemen masyarakat di sana. Hasilnya adalah terbentuknya sebuah komunitas yang bersatu di Madinah dibawah pimpinannya.
I. Hijrah pertama ke Abbisinia/Ethiopia (615 M)
Ajaran Nabi Muhammad saw kepada publik Mekkah mendapat rintangan yang sangat berat dari para pemuka Quraish di sana. Walaupun Nabi Muhammad sendiri dalam kondisi yang lebih aman karena berada dalam perlindungan pamannya (Abu Thalib, pemimpin Bani Hasyim), namun para pengikutnya sendiri tidak lepas dari gangguan. Beberapa orang pengikutnya disiksa, dipenjarakan atau dibiarkan kelaparan. Oleh karena itu ia kemudian berkeputusan mengirimkan 15 muslim untuk melakukan emigrasi ke Abbisinia (Ethiopia saat ini), untuk mencari suaka di bawah pemimpin kristen di sana (Raja Negus). Emigrasi ini walaupun awalnya dimaksudkan untuk menghindari siksaan suku Quraish, kemudian juga membuka jalur ekonomi antara kedua pihak.
Para pemuka Quraish, demi mendengar usaha tersebut, mengirimkan sekelompok orang yang dipimpin oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabia untuk mengejar pada muslim. Namun, mereka tidak berhasil dalam pengejarannya karena para muslim berhasil mencapai wilayah yang aman. Mereka kemudian menghadap Raja Negus dan berusaha membujuknya untuk mengembalikan para migran muslim tersebut. Kemudian pada sebuah pertemuan dengan Negus dan para Pendeta Ethiopia, Ja’far bin Abi Thalib mewakili para muslim meyampaikan apa yang diajarkan Muhammad dan mengutip ayat Al Qur’an mengenai Islam dan Kristen, termasuk beberapa ayat dari surat Maryam. Dalam hadits Ja’far dikatakan berucap :
“ Wahai Raja! Kami tenggelam dalam kebodohan dan barbarisme; kami menyembah berhala dan hidup jauh dari kesucian, kami memakan bangkai, berbicara mengenai hal-hal yang sangat buruk, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keramahtamahan dan kehidupan bertetangga; kami tidak mengenal hukum melainkan siapa yang kuatlah yang benar; kemudian Allah membangkitkan seorang manusia diantara kami, yang kelahiran, kejujuran dan kesuciannya kami sadari; kemudian ia menyeru kepada keesaan tuhan dan mengajarkan untuk tidak menyekutukan apapun denganNya. Melarang kami menyembah berhala; menyuruh kami berkata jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya, menunjukkan belas kasihan, menghormati hak tetangga dan keluarga kami; Melarang kami membicarakan yang buruk tentang wanita, memakan bagian anak yatim; Menyuruh kami menjauhkan diri dari orang-orang jahat, tidak berlaku jahat; Menyuruh melakukan salat, membayar zakat dan berpuasa
Kami mempercayainya, menerima ajarannya dan perintahnya untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, kami melakukan apa yang ia ijinkan dan menjauhi apa yang ia larang. Dan karena ini, orang-orang dari suku kami telah bangkit melawan kami, menyiksa kami agar kami kembali menyembah berhala dan melakukan hal-hal buruk lainnya. Mereka menyiksa dan melukai kami, dan kami sama sekali tidak mendapatkan keamanan berada diantara mereka, dan kami datang ke negaramu berharap kau akan melindungi kami dari mereka ”
Raja Negus, tertarik dengan perkataan ini kemudian mengijinkan para migran tersebut untuk tinggal, dan mengirim para duta Quraish pulang. Diperkirakan bahwa Negus kemudian masuk Islam. Setelah membangun hubungan baik dengan Negus, Nabi Muhammad saw kemudian mengirim kelompok lainnya untuk hijrah ke Abbisinia sehingga total migram muslim ditempat itu mencapai sekitar 100 orang.
II. Hijrah ke Ta’if (619 M)
Pada sekitar Juni 619, Nabi Muhammad dan beberapa pengikutnya keluar dari Mekkah untuk berkunjung ke kota Ta’if untuk bertemu dengan kepala sukunya. Tujuan utama dari kunjungan ini adalah ajakan Muhammad kepada mereka untuk memeluk Islam.

Jalan menuju kota Ta’if dengan latar belakang pegunungan Ta’if, (Arab Saudi).
Demi menolak ajakan Nabi Muhammad, dan dibawah kekhawatiran akan balasan Mekkah sebagai akibat menerima Nabi Muhammad sebagai tamu, kelompok dalam pertemuan tersebut menyuruh para penduduk kota untuk melempari Muhammad dengan batu. Setelah diserang dan dikejar hingga keluar dari Ta’if, Nabi Muhammad yang terluka kemudian berlindung di sebuah kebun buah-buahan dibawah pohon anggur. Ia kemudian memohon kepada Allah meminta perlindungan dan ketenangan.
Berdasarkan kepercayaan Islam, dalam perjalanan pulang ke Mekkah, Nabi Muhammad ditemui malaikat Jibril dan malaikat yang menjaga gunung yang mengelilingi Ta’if yang menawarkan padanya, jika ia menginginkannya Ta’if akan dihancurkan dan dijepit diantara oleh gunung yang ada sebagai balasan atas perlakuan buruk mereka. Muhammad menolak tawaran tersebut dan sebaliknya mendoakan agar generasi selanjutnya di Ta’if menerima konsep tauhid Islam.
III. Ikrar Aqabah
IV. Reformasi Madinah
4.1 Kehidupan sosial di Madinah sebelum hijrah
4.2 Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan piagam atau konstitusi antara kaum Muslim Quraisy yang hijrah ke Madinah atau sering disebut kaum Muhajirin dan kaum Muslim yang tinggal di Yatsrib atau kaum Anshar serta dengan pihak non-Muslim yang berada di Madinah atau Yatsrib pada waktu itu, yang dibuat semenjak Muhammad tiba di Madinah dari Mekkah.
4.3 Efek
V. Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah (Arab:صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H)
5.1 Latar belakang
Pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka mempersiapkan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada kaum Quraisy. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci.
Akhirnya kaum Muslim setuju, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini dituliskan pada surah Al-Fath ayat 4 :
هو الذي انزل السكينة في قلوب المؤمينين
yaitu bermakna bahwa Allah telah memberikan ketenangan bagi hati mereka agar iman mereka bisa bertambah.
5.2 Perjanjian
Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi : “Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad (SAW) dan Suhail bin ‘Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad (SAW), diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad (SAW) tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad (SAW) akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah”
5.3 Manfaat perjanjian
Manfaat Hudaibiyah bagi kaum Muslim adalah :
* Bebas dalam menunaikan agama Islam
* Tidak ada teror dari Quraisy
* Mengajak kerajaan-kerajaan luar seperti Ethiopia-afrika untuk masuk Islam
5.4 Hasil
Perjanjian Hudaibiyah ternyata dilanggar oleh Quraisy, tapi kaum Muslim bisa membalasnya dengan penaklukan Mekkah (Fathul Makkah) pada tahun 630 M
Kaum Muslim berpasukan sekitar 10000 tentara. Di Mekkah, mereka hanya menemui sedikit rintangan. Setelah itu, mereka meruntuhkan segala simbol keberhalaan di depan Ka’bah.
VI. Korespondensi dengan pemimpin lain
6.1 Surat untuk Heraklius
” Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius penguasa Romawi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah, niscaya kamu selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu pahala dua kali lipat. Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang Romawi.
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan tidak (pula)sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). ”
6.2 Surat untuk Negus
6.3 Surat untuk Khusrau
Dalam kitab Hayatus Sahabah, Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi Rah dalam bab *Nabi Muhammad saw mengirim surat kepada para penguasa Kerajaan* sect 4 menulis bahwa Al-Bukhari meriwayatkan dari Hadist Al-Laits bin Saad,dari Yunus,dari Az-Zuhri,dari Ubaidilah bin Abdullah bin Utbah ,dari Ibnu Abbas r.a.,bahwa Rosullulah saw telah mengutus seorang utusan (Syuja bin Wahab) untuk menyampaikan surat beliau kepada Kisra (Khusrau) dan juga memerintahkan untuk menyerahkan surat itu terlebih dahulu kepada penguasa Bahrain.Kemudian penguasa Bahrain inilah yang menyerahkan surat beliau inilah kepada Kisra.Ketika Kisra membacanya, dia mencabik-cabik surat beliau itu.Ibnu Abbas r.a. berkata, Jika tidak salah ibnu Musayyab berkata-Kemudian Rosulullah saw berdoa agar bangsa Parsi di hancur leburkan. Diriwayatkan dari Ibnu Jarir r.a. dari jalan ibnu Ishaq r.a.,sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Bidayah _ 4/269,dari Zaid Abi Habib,dia berkata ,Rosulullah saw mengutus Abdullah bin Huzaifah r.a. untuk menyampaikan surat kepada Kisra bin Hurmuz, Raja Persia.
Isi surat itu berbunyi:
” Bismilaahirrahmaanirrahiim
Dari Muhammad Rosulullah,kepada Kisra pembesar Persia
Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan yang beriman kepada Allah dan Rosulnya,
Allah Yang Maha Esa ,tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya .Aku mengajakmu sebagaimana yang diserukan Allah,karena sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada setiap orang ynag hidup dan untuk menjadi hujjah atas perkataan orang-orang kafir.Jika engkau memeluk Islam maka engkau akan selamat,tetapi jika engkau menolak ,maka sesungguhnya dosa-dosa orang Majusi akan dibebankan kepadamu. “
Perawi menngatakan ,Ketika Kisra membaca surat Rosulullah tersebut , surat tersebut langsung dirobek-robek, sembari berkata ^Apakah pantas seorang budak menulis surat seperti ini kepadaku?*, Kemudian Kisra menulis surat kepada Badzan supaya mengirim dua orang untuk menemui Rosulullah saw.- kisah selanjutnya sama seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq-tetapi ada tambahan ,^bahwa kedua orang tersebaut datang kepada Rosulullah saw ,dengan memotong janggutnya dan memanjangkan kumisnya.Melihat yang demikian Rosulullah saw tidak senang kepada mereka, lalu beliau saw bersabda, Celakalah kalian berdua! Siapakah yang menyuruh kalian berdua berbuat demikian.Mereka menjawab^Tuan kami (Kisra) yang menyuruh kami seperti ini. Kemudian Rosulullah saw berkata * Tetapi aku telah diperintahkan oleh Tuhanku (Allah) agar memanjangkan janggutku dan memotong kumisku.
Catatan kaki
1. ^ al-Mubarakpuri (2002) p. 412
2. ^ Irfan Shahid, Arabic literature to the end of the Umayyad period, Journal of the American Oriental Society, Vol 106, No. 3, p.531
3. ^ Watt (1974) p. 81
4. ^ Watt. al-Aws; Encyclopaedia of Islam
5. ^ a b Buhl; Welch. Muhammad; Encyclopaedia of Islam
6. ^ Watt (1974) pp. 93—96
7. ^ Forward (1998) p. 14
8. ^ a b Forward (1998) p. 15
9. ^ Watt (1974) pp. 67—68
10. ^ a b van Donzel. al-Nadjāshī; Encyclopaedia of Islam
11. ^ al-Mubarakpuri (2002) p. 121
12. ^ Ibnu Hisyam, as-Seerat an-Nabawiyyah, Vol. I, pp. 334—338
13. ^ Vaglieri. Dja’far b. Abī Tālib; Encyclopaedia of Islam
14. ^ a b al-Mubarakpuri (2002) pp. 163—166
15. ^ Muir (1861) Vol. II p. 202
16. ^ Sahih Bukhari 4.54.454, Sahih Muslim 19.4425

Tidak ada komentar:

Posting Komentar