Get Gifs at CodemySpace.com

Kamis, 21 Februari 2013

Kajian Sejarah Hukum Islam: Piagam Madinah Dan Toleransi Beragama

Kajian Sejarah Hukum Islam: Piagam Madinah Dan Toleransi Beragama piagam madinah Oleh: Dr. Adian Husaini Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim, H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA), menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Dalam bukunya, ZAA banyak mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar manuskrip kuno. (Lihat juga, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988). Melalui riset yang sangat serius mulai tahun 1961 sampai tahun 1973, ZAA akhirnya berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai versi bahasa. Istilah Konsitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W. Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai “Republik Madinah”. Buku ZAA ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad; dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis selama 12 abad. Konstitusi Madinah diawali dengan ungkapan : “Bismillahirrahmanirrahiim. Haadzaa kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal mu’miniina wal-muslimiina min quraisyin wa-yatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim wa jaahada ma’ahum.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang-orang mukmin dan muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka). Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut. Misalnya (terjemah oleh ZAA): Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.” Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya. Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad saw telah melakukan interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang sangat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam. Bahkan, al-Quran juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, “Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu.” Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, “Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah.” (HR Thabrani). Perbandingan dengan Eropa Dari sisi toleransi beragama, pengakuan akan hak hidup dan hak beragama kaum Yahudi/minoritas di Madinah pada zaman itu, sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat mengagumkan. Sebagai perbadingan, bisa kita simak, bagaimana nasib kaum Yahudi dalam sejarahnya di Eropa. Max L. Margolis and Alexander Marx mencatat, komunitas awal-awal Yahudi di Eropa dapat dijumpai di Roma sekitar tahun 200 SM. Sejumlah peristiwa pahit menandai kehidupan Yahudi di wilayah kekuasaan Imperium Romawi ini. Tahun ke-19, Kaisar Tiberius mengusir Yahudi dari Roma dan Italia. Namun, tampaknya mereka masih kembali lagi. Tahun 44, kaum Yahudi termasuk yang menangisi kematian Julius Cesar. Tahun 54, karena menentang propaganda Kristen, Yahudi dilarang berkumpul di sinagog. Tahun 139, sejumlah Yahudi diusir dari Roma. (Lihat, Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, (New York: Atheneum, 1969), hal. 287-289). Di masa Kaisar Konstantine (311-337), secara umum Yahudi mendapatkan cukup kebebasan dalam menjalankan agamanya. Bahkan, setelah Konsili Nicea, 325, Judaisme masih tetap boleh diamalkan. Hanya, di masa Constantius II (337-361), sempat terjadi insiden. Di bawah kekuasaan Gallus, saudara ipar Constantius, yang memerintah wilayah Timur (termasuk Palestina), terjadi bentrokan antara yahudi dengan tentara Romawi. Komandan tentara Romawi di wilayah itu menyerbu dan menghancurkan Kota Tiberias, Sepphoris, dan Lod. Tetapi, Encyclopaedia Judaica Vol II, mencatat, bahwa sejak Kristen menjadi agama resmi Romawi pada 321, posisi Yahudi menjadi terpojok. Berbagai keistimewaan yang diterima Yahudi pada masa sebelumnya, dihapuskan. Jurisdiksi rabbi Yahudi juga dihapuskan. Proselitisme dilarang dan diancam hukuman mati, sebagaimana berhubungan dengan wanita Kristen. Akhirnya, Yahudi terlarang memegang posisi tinggi di pemerintahan atau militer. Di bawah Kaisar Theodosius I (379-395) dan Theodosius II (408-450), Yahudi sebenarnya cukup mendapatkan prinsip-prinsip kebebasan, meskipun Theodosius dijuluki sebagai “the First Christian Inquisitor” dan menetapkan Katolik sebagai agama resmi negara. Tapi, karena pengaruh dari tokoh-tokoh gereja yang fanatik, Yahudi menjadi sasaran pengaturan yang menyakitkan. Max L. Margolis dan Alexander Marx menggambarkan kondisi ketika itu : “Tetapi, dibawah pengaruh para pendeta yang fanatik, maka Yahudi menjadi sasaran meningkatnya peraturan-peraturan yang menjengkelkan dengan tujuan untuk mengurangi jumlah konversi kaum Kristen ke Yahudi. Semua itu adalah dalam semangat tokoh-tokoh gereja, bahwa Yahudi digambarkan sebagai orang-orang jahat dan tukang sihir, dan sekte mereka sebagai hina dan seperti binatang. Lagi pula, pedagang-pedagangan Kristen bernafsu untuk bebas dari kompetisi Yahudi. Tidak sah bagi Yahudi untuk mengkhitan budaknya atau memiliki budak Kristen. Yahudi tidak punya wewenang atas Kristen dan karena itu harus dilarang dari kantor-kantor publik. Kawin antar agama antara Yahudi dan Krtisten merupakan tindakan kriminal.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 229-230.) Di Eropa, ketika agama Kristen mulai berkuasa di berbagai negara, cara pandang kaum Kristen terhadap Yahudi sangat dipengaruhi oleh Kebijakan yang dibuat oleh Paus Gregory I, yang dikenal sebagai Gregory The Great (590-604). Max L. Margolis dan Alexander Marx mencatat tentang persepsi dan kebijakan Gregory I: “Metode Yahudi dalam memahami kitab suci dalam bentuk literalnya adalah satu hal yang buruk; argumen-argumen Yahudi dalam melawan Kristen adalah tidak masuk akal. Yahudi harus diajak menjadi Kristen dengan akal dan persuasi…Karena itu, Yahudi mengalami penderitaan dalam menerapkan agama dan kehidupan mereka sendiri, bersamaan dengan adanya jaminan hak-hak yang diberikan oleh undang-undang Romawi.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 298.) Sampai abad-abad berikutnya, kaum Yahudi menjadi sasaran pembantaian dan penindasan masyarakat Eropa. Sejumlah Paus lainnya kemudian dikenal sangat anti-Yahudi. Pada tanggal 17 Juli 1555, hanya dua bulan setelah pengangkatannya, Paus Paulus IV, mengeluarkan dokumen (Papal Bull) yang dikenal dengan nama Cum nimis absurdum. Di sini Paus menekankan, bahwa para pembunuh Kristus, yaitu kaum Yahudi, pada hakekatnya adalah budak dan seharusnya diperlakukan sebagai budak. Yahudi kemudian dipaksa tinggal dalam ‘ghetto’. Setiap ghetto hanya memiliki satu pintu masuk. Yahudi dipaksa menjual semua miliknya kepada kaum Kristen dengan harga sangat murah; maksimal 20 persen dari harga yang seharusnya. Di tiap kota hanya boleh ada satu sinagog. Di Roma, tujuh dari delapan sinagog dihancurkan. Di Campagna, 17 dari 18 sinagog dihancurkan. Yahudi juga tidak boleh memiliki Kitab Suci. Saat menjadi kardinal, Paus Paulus IV membakar semua Kitab Yahudi, termasuk Talmud. Paus Paulus IV meninggal tahun 1559. Tetapi cum nimis absurdum tetap bertahan sampai tiga abad.(Peter de Rosa, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 266-269). Sikap tokoh-tokoh Gereja semacam itu terbukti sangat berpengaruh terhadap nasib Yahudi di wilayah Kristen Eropa. Di Spanyol, misalnya, Yahudi sudah ada di wilayah ini, sekitar tahun 300 M. Raja Aleric II (485-507), diilhami oleh Code of Theodosius, memberikan batasan yang ketat terhadap Yahudi. Nasib Yahudi Spanyol semakin terjepit, menyusul konversi Raja Recarred I (586-601) menjadi Katolik. Sang Raja melakukan konversi itu pada The Third Council of Toledo (589), dan kemudian menjadikan Katolik sebagai agama negara. The Council of Toledo itu sendiri membuat sejumlah keputusan: (1) larangan perkawinan antara pemeluk Yahudi dengan pemeluk Kristen, (2) keturunan dari pasangan itu harus dibaptis dengan paksa, (3) budak-budak Kristen tidak boleh dimiliki Yahudi (4) Yahudi harus dikeluarkan dari semua kantor publik, (5) Yahudi dilarang membaca Mazmur secara terbuka saat upacara kematian. (Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 304-305.) Dalam periode 612-620, banyak kasus tejadi dimana Yahudi dibaptis secara paksa. Ribuan Yahudi melarikan diri ke Perancis dan Afrika. Pada 621-631, di bawah pemerintahan Swinthila, perlakuan Yahudi agak lebih lunak. Pelarian Yahudi kembali ke tempat tinggalnya semula dan mereka yang dibaptis secara paksa kembali lagi ke agama Yahudi. Tetapi, Swinthila ditumbangkan oleh Sisinad (631-636), yang melanjutkan praktik pembaptisan paksa. Pada masa pemerintahan Chintila (636-640), dibuatlah keputusan dalam The Six Council of Toledo (638), bahwa selain orang Katolik dilarang tingal di wilayahnya. Euric (680-687) membuat keputusan: seluruh Yahudi yang dibaptis secara paksa ditempatkan di bawa pengawasan khusus pejabat dan pemuka gereja. Raja Egica (687-701) membuat keputusan: semua Yahudi di Spanyol dinyatakan sebagai budak untuk selamanya, harta benda mereka disita, dan mereka diusir dari rumah-rumah mereka, sehingga mereka tersebar ke berbagai profinsi. Upacara keagamaan Yahudi dilarang keras. Lebih dari itu, anak-anak Yahudi, umur 7 tahun keatas diambil paksa dari orang tuanya dan diserahkan kepada keluarga Kristen. (Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 305-306.) Sampai abad ke-15, pembantaian Yahudi (massacre) itu terus terjadi di Spanyol. Di Rusia, penindasan dan pembantaian Yahudi dikenal sebagai ‘pogroms’ (mob violence) dan masih berlangsung sampai abad ke-20. Sejumlah pejabat pemerintah Rusia ikut memobilisasi massa untuk mengusir Yahudi. Sebagai contoh, antara tahun 1903-1906, pogroms terjadi di 690 kota dan desa, sebagian besar terjadi di Ukraina. (Marvin Perry, Western Civilization, hal. 447). Di berbagai wilayah lain di Eropa, persekusi terhadap Yahudi terjadi di mana-mana. Selama ratusan tahun, para pemimpin politik dan agama di Eropa Barat tidak segan-segan untuk menghapuskan atau menghancurkan komunitas-komunitas Yahudi di Eropa. Persekusi dan pembantaian Yahudi itu beberapa diantaranya dilakukan dengan ancaman dan intimidasi untuk meninggalkan agama Yahudi dan memeluk Kristen. Jika mereka menolak, maka hukuman mati sudah menanti mereka. Di Perancis, misalnya, Louis IX (1226-1270), memerintahkan pengusiran semua orang Yahudi dari kerajaannya, sesaat setelah Louis berangkat menuju medan Perang Salib. Perintah itu memang tidak dijalankan dengan sempurna. Banyak orang Yahudi yang meninggalkan Perancis kemudian kembali lagi. Tetapi, Philip the Fair (1285-1314) kemudian memerintahkan semua Yahudi Perancis untuk ditangkap. Kemudian, Raja Charles IV, kembali mengusir Yahudi Perancis pada tahun 1322. Josephine Bacon mencatat pengusiran dan pembantaian orang-orang Yahudi di Perancis dalam kurun tahun 800-1500. Tahun 1420, komunitas Yahudi dimusnahkan dari Toulouse. Pada tahun yang sama, Yahudi juga diusir dari Kota Lyon. Tahun 1321, 160 Yahudi dikubur dalam satu lobang di Kota Chinon. Tahun 1394, seluruh Yahudi diusir dari Kota Sens. Pada tahun 1495, orang-orang Yahudi diusir dari Lithuania. Padahal di negara ini, orang-orang Yahudi itu mengungsi dari persekusi kaum Kristen Barat, karena mereka tidak menerima agama Kristen. Di Rusia, sebagai akibat dari kebencian yang disebarkan oleh gereja Kristen Ortodoks Rusia, kaum Yahudi dikucilkan dan diusir dari Rusia dalam kurun waktu mulai abad ke-15 sampai dengan tahun 1722. Ketika itu, secara umum, bisa dikatakan, tanah Kristen Eropa bukanlah tempat yang aman bagi kaum Yahudi. (Stanford J. Shaw, The Jews of the Ottoman Empire and the Turkish Republic, (Houndmills: MacMillan Academic and Professional Ltd, 1991), hal. 7-9; Martin Gilbert (ed), Atlas of Jewish Civilization, (London: Andre Deutsch Limited, 1990), hal. 67.) Permusuhan kaum Kristen terhadap Yahudi juga bisa disaksikan dalam kisah Perang Salib. Di Jerusalem, ketika pasukan Salib menaklukkan kota suci itu tahun 1099, mereka membantai sekitar 30.000 penduduknya, Muslim dan Yahudi. Puluhan ribu kaum Muslim yang mencari penyelamatan di atap Masjid al-Aqsha dibantai dengan sangat sadis. Kekejaman pasukan Salib di Kota Jerusalem memang sangat sulit dibayangkan akal sehat. (Lihat, Karen Armstrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 3-4, 299; Ameer Ali, A Short History of the Saracens, (New Delhi, Kitab Bhavan, 1981), hal. 322-326; Mustafa A Hiyari, “Crusader Jerusalem 1099-1187 AD”, dalam KJ Asali (ed.), Jerusalem in History, (Essex: Scorpion Publishing Ltd,1989), hal. 139-141). Sebagai catatan, tindakan pasukan Salib itu sangat berbeda dengan tindakan Shalahudin al-Ayyubi ketika merebut kembali Jerusalem pada tahun 1187. Di bawah Shalahuddin, Jerusalem menjadi tempat yang aman bagi kaum Yahudi. Ketika itu Shalahuddin membawa kembali banyak orang Yahudi ke Jerusalem dan mengijinkan mereka tinggal di sana. (Lihat, Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 299) Abad ke-15 menyaksikan pembantaian besar-besaran kaum Yahudi dan Muslim di Spanyol dan Portugal oleh kaum Kristen Eropa. Pada tahun 1483 saja, dilaporkan 13.000 orang Yahudi dieksekusi atas perintah Komandan Inqusisi di Spanyol, Fray Thomas de Torquemada. Selama puluhan tahun berikutnya, ribuan Yahudi mengalami penyiksaan dan pembunuhan. Jatuhnya Granada, pemerintahan Muslim terakhir di Spanyol, pada 20 Januari 1492, telah mengakhiri pemerintahan Muslim selama 781 tahun di Spanyol. Kejatuhan Granada ke tangan Kristen ini dirayakan dengan upacara keagamaan di seluruh Eropa. Kemudian, Paus mengundang seluruh bangsa Kristen untuk mengirimkan delegasi ke Roma, guna mendiskusikan rencana ‘crusade’ terhadap Turki Uthmani. Tahun 1494, pasangan Ferdinand dan Isabella diberi gelar ‘the Catholic Kings’ oleh Paus Alexander VI. Pasangan itu sebenarnya telah banyak melakukan pembantaian terhadap Yahudi dan Muslim sejak dibentuknya Inquisisi di Castile dengan keputusan Paus tahun 1478. Puncaknya adalah tahun 1492, saat mereka memberikan pilihan kepada Yahudi: pergi dari Spanyol atau dibaptis. Setelah jatuh ke tangan Kristen, kaum Muslim Granada (yang oleh diberi sebutan Moors oleh kaum Kristen Spanyol) masih diberi kebebasan menjalankan beberapa ritual dan tradisi agama mereka. Isabella memaksakan dilakukannya pembaptisan massal. Akhirnya, kaum Muslim melakukan perlawanan pada tahun 1499, tetapi berhasil ditumpas. Setelah itu, sebagaimana kaum Yahudi, mereka juga diberi pilihan: meninggalkan Spanyol atau dibaptis. Jika menolak, kematian sudah menunggu. Jatuhnya Granada, juga sekaligus merupakan bencana bagi kaum Yahudi di Spanyol. Hanya dalam beberapa bulan saja, antara akhir April sampai 2 Agustus 1492, sekitar 150.000 kaum Yahudi diusir dari Spanyol. Sebagian besar mereka kemudian mengungsi ke wilayah Turki Uthmani yang menyediakan tempat yang aman bagi Yahudi. Ada yang mencatat jumlah Yahudi yang terusir dari Spanyol tahun 1492, sebanyak 160.000. Dari jumlah itu, 90.000 mengungsi ke Turki/Uthmani, 25.000 ke Belanda, 20.000 ke Maroko, 10.000 ke Perancis, 10.000 ke Itali, dan 5.000 ke Amerika. Yang mati dalam perjalanan diperkirakan 20.000 orang. Sedangkan yang dibaptis dan tetap di Spanyol sebanyak 50.000. Masa kekuasaan Ferdinand — The King of Aragon — dan Isabella — the Queen of Castile – dicatat sebagai puncak persekusi kaum Yahudi di Spanyol. Keduanya dikenal sebagai “the Catholic Kings”, yang dipuji sebagai pemersatu Spanyol. (Lihat, Stanford J. Shaw, The Jews of the Ottoman Empire and the Turkish Republic, hal. 13-14; Henry Charles Lea, A History of the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988), Vol. 1, hal. 36, 140; Martin Gilbert (ed) Atlas of Jewish Civilization, hal. 59; Halil Inalcik, From Empire to Republic: Essays on Ottoman and Turkish Social History, (Istanbul: The ISIS Press, 1995), hal. 106.). Tradisi toleransi Islam Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya. Karen Armstrong mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.) Toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Jerusalem, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent — 1520-1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Uthmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat: “Here we are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 325-326.) Kondisi Yahudi di Uthmani itu begitu bertolak belakang dengan perlakuan yang diterima Yahudi di dataran Eropa, sehingga mereka harus mengungsi besar-besaran ke luar Eropa, dan terutama ke wilayah Uthmani. Padahal, ketika Spanyol berada di bawah pemerintahan Islam, kaum Yahudi juga mengalami perlakuan yang sangat baik. Sejumlah penulis Yahudi menggambarkan kondisi Yahudi di Spanyol di bawah Pemerintahan Islam ketika itu sebagai suatu “zaman keemasan Yahudi di Spanyol” (Jewish golden age in Spain). Martin Gilbert, penulis Yahudi, sebagai misal, mencatat tentang kebijakan penguasa Muslim Spanyol terhadap Yahudi. Dia katakan, bahwa para penguasa Muslim itu juga mempekerjakan sarjana-sarjana Yahudi sebagai aktivitas kecintaan mereka terhadap sains dan penyebaran ilmu pengetahuan. Maka mulailah zaman keemasan Yahudi di Spanyol, di mana penyair, dokter, dan Sarjana memadukan pengetahuan secular dan agama dalam metode yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kaum Yahudi itu bahkan menduduki jabatan tertinggi di dunia Muslim, termasuk perdana menteri beberapa khalifah di wilayah Islam bagian Timur dan Barat. (Martin Gilbert (ed), Atlas of Jewish Civilization, hal. 60.) Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstarong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya perskeusi anti-Semitik di Eropa, dimana kaum Yahudi dideportasi dari berbagai kota. (Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al-Andalus. The loss of Spanish Jewry was mourned throughout the world as the greatest catastrophe to have befallen Israel since the destruction of the Temple. The fifteenth century had also seen as escalation of anti-Semitic persecution in Europe, where Jews had been deported from one city after another). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 326-327.) Sebagaimana Karen Armstrong, Avigdor Levy, penulis Yahudi dari Brandeis University, mencatat tentang kisah tragis pengusiran Yahudi dari Spanyol tahun 1492. Dalam memori kolektif kaum Yahudi, tahun 1492 itu mewakili, pertama dan utamanya, sebagai satu tragedi dari proporsi bencana: komunitas Yahudi yang utama di dunia, yang sedang berkembang dan dibangun begitu lama, tiba-tiba dicabut dan dihancurkan. (In the collective Jewish memory, this date represented, first and foremost, a tragedy of catastrophic proportions: the worlds leading Jewish community, efflorescent and long established, was suddenly uprooted and destroyed). (Avigdor Levy, “Introduction” , dalam Avigdor Levy (ed.),The Jews of The Ottoman Empire, (Princeton: The Darwin Press, 1994), hal. 2.) Islam memiliki tradisi yang panjang dalam menata hubungan dengan kaum non-Muslim. Tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam konsep “heretics” di abad pertengahan Eropa. Islam memang menyebut kaum non-Muslim sebagai “kafir”, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama. Al-Quran menegaskan: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama.” (al-Baqarah:256). Karen Armstrong mencatat: “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire”. (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam dunia Islam). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991), hal. 44). Jadi, ajaran dan tradisi Islam dipenuhi dengan berbagai catatan tentang toleransi antar umat manusia. Ketinggian peradaban Islam pernah membawa rahmat bagi seluruh dunia, termasuk kepada masyarakat Barat, mendorong sejarawan Irlandia, Tim Wallace-Murphy, menulis sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006). Di tengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat, buku ini memberikan gambaran yang sangat indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam. Menurut Tim Wallace-Murphy, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya. “Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates that European culture owes an immense and immeasurable debt to the world of Islam,” tulisnya. Karena itulah, tulis Wallace-Murphy, “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid). Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu, sangatlah penting, baik bagi Barat maupun bagi Islam, untuk mengikis mispersepsi diantara kedua peradaban besar ini. Di mana letak hutang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (the Middle Ages). Ketika itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum Muslim menjadi pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah. (Al-Andalus became not merely the greatest cultural centre in Europe but in the entire Mediterranean basin). Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. “Life for the majority of people in mainland Christian Europe was short, brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned and tolerant regime in Islamic Spain.” Jadi, kata Wallace-Murphy, bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa, kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam. Penutup Sebagai satu peradaban besar yang masih eksis, kaum Muslim perlu mengenal sejarahnya dengan benar, sehingga tidak menjadi umat yang “minder” dan silau dengan konsep-konsep peradaban lain, yang mungkin tampak memukau, padahal justru bertentangan dan bahkan membawa kerusakan kepada kaum Muslim sendiri. Kini, kaum Muslim dibanjiri dengan istilah-istilah dan paham-paham yang jika tidak hati-hati justru dapat merusak ajaran Islam, seperti konsep Pluralisme, multikulturalisme, relativisme, dan sebagainya. Leopold Weiss (Muhammad Asad), dalam buku klasiknya, yang ditulis tahun 1930-an, Islam at the Crossroads, menekankan, bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi atau kebangkitan umat Islam adalah kecenderungan untuk peniruan pada pola hidup Barat. Kata Asad, “The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic civilization.” (Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other Press), hal. 72). Padahal, menurut Muhammad Asad, “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…” Peradaban Islam tidak akan eksis apalagi berkembang, jika umat Islam dihinggapi mental “minder”, tidak memiliki rasa kebangaan terhadap diri sendiri, dan terputus dari sejarahnya sendiri. Karena itulah, kajian-kajian sejarah dan konsep-konsep Islam secara komprehensif perlu dilakukan dengan serius dan benar. Sekian, dan terimakasih. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. (***) (Depok, 17 Maret 2010/Disampaikan dalam acara SEMINAR SEHARI, dengan tema: Implementasi Akhlak Rasulullah saw dalam Kehidupan Berkeluarga, Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, di Gedung Sasana Amal Bakti Kementerian Agama RI).`

Tidak ada komentar:

Posting Komentar